Rabu, 13 Oktober 2010

ayahku......




Bagiku kendaraan terindah dan selalu tersentuh bila aku melihat dan membayangkannya adalah gerobak sampah milik ayahku. Kelak gerobak itu yang akan menjadi saksi bahwa ayahku adalah sosok yang pantas diteladani anak-anaknya.

Aku sudah tidak ingat lagi sudah berapa puluh tahun ayahku bekerja sebagai tukang sampah untuk membiayai anak-anaknya yang berjumlah sebelas orang itu. Yang ku ingat selama i tu hanyalah bahwa ayahku tidak pernah sekalipun mengeluh. Bila ia datang ke rumah dan tidak mendapatkan hasil apa-apa pada hari itu, maka ia pun menghibur anak-anaknya yang ketika itu masih kecil-kecil. Sebuah pemandangan yang terekam jelas di memori kerinduanku.

Tuturnya sedikit, bila aku sedang bercengkrama dengannya. Guratan senyumnya masih nampak di wajahnya walaupun ia sedang tidak tersenyum. Di umurnya yang kian senja tidak pernah ia lupa selalu menyisihkan nasehat-nasehat kepadaku. Nasehat-nasehatnya sangat sederhana. Tidak rumit seperti yang biasa ku dengar dari para dosen-dosenku saat kuliah. Sederhana, karena mungkin keluar dari jiwa yang sangat sederhana dan bersahaja.

Agama di mata ayahku adalah ‘lelaku’. Agama adalah memberikan senyuman walaupun tidak ada sesuatu yang bisa kita beri, agama adalah bekerja keras, agama adalah pandai memaafkan walau sejatinya kita benar, agama adalah bertanggung jawab terhadap anak-anaknya, agama adalah menjaga hubungan silaturahmi, agama adalah rasa syukur terhadap nikmat yang diberikan hari itu, agama adalah kesabaran bila hari ini tidak ada sesuatu untuk di masak dan agama adalah tetap istiqomah dalam menjalankan itu semua.

Ayahku sama sekali tidak tahu tentang teori hermeneutic, kesetaraan gender, pluralism atau teori-teori filsafat yang sangat menguras pikiran itu. Tapi di mataku ayahku lebih hebat dari mereka. Ayahku telah mengajarkan kepadaku bahwa agama adalah akhlak, kepada Tuhan maupun sesama.

Idul adha kemarin, aku pernah serasa di tampar oleh kesederhanaan hatinya. Ayahku disuruh oleh tetangga untuk memotong hewan kurbannya. Satu ekor kambing. Ayahkupun memotong di area pemakaman sesuai yang ditunjuk oleh tetanggaku tersebut. Beberapa saat kemudian setelah pemotongan selesai, ahli waris pemilik makam tersebut datang ke rumah dengan membawa golok ditangannya. Tidak terima bila area pemakaman tersebut sudah dipakai untuk pemotongan hewan kurban. Sangat tidak menghormati, katanya.

Kebetulan ayahku belum pulang, masih di tempat lain untuk memotong hewan kurban juga. Ketika itu dadaku sesak, ingin rasanya marah kepada tetanggaku yang menyuruh itu dan kepada ahli waris pemilik makam tersebut. Ayahku sudah sangat tua. Karena keluguannya ia jadi korban. Seharusnya yang bertanggung jawab adalah tetanggaku dan mengapa ahli waris itu juga tidak mau mengerti malah  minta pertanggungjawaban dari ayahku, pikirku saat itu. Padahal ayahku sama sekali tidak mendapatkan apa-apa dari pemotongan hewan kurban tersebut. Semua dikerjakan dengan ikhlash.

Semua keluarga marah. Ayahku datang. Semua ikut andil menceritakan apa yang baru saja terjadi dengan kemarahan yang memuncak. Ayahku hanya tersenyum mendengarnya. Setelah itu dengan keadaan yang masih sangat letih ayahku beranjak pergi ke tempat ahli waris tersebut dan meminta maaf atas segala kesalahan yang diperbuat. Subhanallah, wajahku terasa ditampar. Keteladanan yang telah ia ajarkan kepadaku. Memaafkan walau sejatinya kita benar dan masalah yang begitu rumitpun selesai dengan begitu mudahnya.

Hari ini, di negeri Kinanah aku selalu saja merasa bersalah akan birrul walidain yang tidak sepenuhnya kulakukan ketika masih bersama. Ayahku sekarang sedang sakit , sakit yang harus membuatnya bolak-balik ke rumah sakit. Setiap ku ingat kerja keras dan kesederhanaannya menghidupi anak-anaknya setiap itulah airmataku terjatuh. Aku bukan cengeng tapi aku belum mampu meneladaninya apalagi membahagiakannya bila mengingat itu semua.

Bila rindu dengan suaranya aku pun meneleponnya, dan menanyakan bagaimana kabarnya. Ia hanya menjawab Alhamdulillah baik, dan menanyakan balik kabarku. Lalu menasehatiku agar baik-baik di negeri ini dan selalu mendoakannya, nasehat yang sangat sederhana, ditengah sakitnya yang parah. Aku berusaha tegar mendengar suaranya yang bergetar. Walau airmata tak bisa ku sembunyikan. Sekali lagi ia mengajariku untuk tidak  mengeluh terhadap penyakit yang diderita.

Bila suatu saat ada yang bertanya kepadaku siapakah pahlawan di dalam hidupmu. Aku akan menjawab “AYAHKU!”


Rabbighfirlii waliwalidayya warhamhumaa kamaa rabbayanii saghiira

1 komentar:

  1. bikin mata gw berkaca-kaca. sad story girl :( tetap tegar manjalani semuanya jgn lupa berdoa demi kesembuhan ayah kamu. :) NEVER GIVE UP GIRL

    BalasHapus